Rabu, 20 Januari 2010

Migas Menipis


industri produksi Migas terbagi menjadi dua: industri hulu dan industri hilir. Yang dimaksud hulu adalah eksplorasi dan eksploitasi sedangkan hilir adalah bagian kilang atau pengolahan migas mentah menjadi produk atau bahan baku siap pakai. Tidak semua negara mempunyai potensi industri hulu dan Indonesia termasuk yang beruntung. Namun ada beberapa ciri industri hulu Indonesia yang perlu mendapat perhatian: (1) risiko tinggi, (2) tidak terbarukan, (3) sandaran anggaran negara, (4) membutuhkan teknologi tinggi, dan (5) biaya produksi tinggi. Ciri nomor empat dan lima serta realita di nomor tiga lah yang akhirnya menimbulkan dilema di Indonesia.
Sebagian besar pemain di industri hulu adalah pihak asing. Meskipun beberapa pihak melakukan eksplorasi dan eksploitasi terkadang perusahaan lokal, seperti Medco, namun alat-alat produksinya, seperti bor, pasti dari luar negeri. Indonesia belum mampu membuat alat-alat produksi untuk industri hulu karena membutuhkan teknologi tinggi dan biaya mahal. Di sisi lain, biaya/modal produksi industri hulu juga sangat teramat tinggi. Sekali pengeboran sumber minyak membutuhkan ratusan sampai milyaran rupiah dan belum tentu membuahkan hasil. Saat ini peluang suatu sumber yang dibor merupakan reservoir produktif sekitar 40%. Meskipun membaik dari sepuluh tahun yang lalu yaitu sekitar 10%, risiko pengorbanan tanpa hasil tetap besar. Jika sebuah sumber minyak ternyata tidak produktif maka pengeboran yang mahal itu benar-benar menjadi sia-sia. Dua hal inilah yang menyebabkan pemain lokal sulit terjun di industri hulu padahal Indonesia adalah lahan yang sangat potensial, suatu kemirisan yang sulit diatasi.

Sebenarnya untuk mengatasi kebutuhan teknologi tinggi sudah dibuat UU tentang alih teknologi. Jika perusahaan asing beroperasi di Indonesia, ia harus mengangkat penduduk Indonesia asli sebagai pendamping pimpinan operasional yang warga negara asing di Indonesia dan akan menggantikan pimpinan operasional itu dalam waktu 3 tahun. Namun realitanya UU ini tidak berjalan karena pemerintah tidak mengontrol secara serius pelaksanaan di lapangan. Yang terjadi di lapangan adalah setelah satu periode kepemimpinan si WNA digantikan dengan WNA yang lain dan begitulah seterusnya. WNI yang ditunjuk sebagai pendamping tetap menunggu janji promosi dan tetap di posisi yang tidak strategis.

Produksi minyak Indonesia terus turun sejak 1997, meskipun produksi gas terus meningkat. Indonesia termasuk salah satu produsen gas tersbesar di dunia bersaing dengan Rusia, Brazil dan Iran. Hal ini dikarenakan cadangan minyak di reservoir lama kian menipis sehingga laju produksi semakin menurun. Untuk mengimbangi hal itu, harus dilakukan optimalisasi dalam eksloitasi. Disinilah peran BPMigas, yaitu melakukan optimalisasi lapangan dan juga infill drilling.

Penerimaan negara dari migas terus naik. Tahun 2003 sekitar 10.000 USD dan di tahun 2008 sudah sekitar 30.000 USD. Kontribusi sektor migas di APBN tahun 2006 adalah 33,7%; 2007 sebesar 31,8%; dan 2008 sebesar 36.3%. Sementara itu cadangan minyak seluruh reservoir Indonesia tinggal sekitar 3 milyar barrel. Namun yang efektif dieksploitasi sekitar 2 milyar barrel. Jika memakai angka produksi saat ini, yaitu sekitar 2.000 barrel per hari, maka cadangan minyak Indonesia hanya bertahan sekitar 5 sampai 6 tahun. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membuat langkah konkrit SEKARANG JUGA! Selama ini, pemerintah hanya menghembuskan wacana-wacana saja. Sementara cadangan minyak terus dikuras setiap hari.

Pola pikir masa depan inilah yang merupakan kekurangan Indonesia. Sebagai perbandingan, minyak mentah Indonesia yang dibeli Amerika Serikat itu sebagian mereka suntikkan kembali ke reservoir minyak mereka. Ini adalah fakta. Betapa mereka memikirkan kelangsungan masa depan mereka.

mohamadsani.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar