Rabu, 20 Januari 2010

Dampak Operasi pengeboran



Akhirnya untuk pertama kalinya dalam sejarah (setau saya), tim Lapindo (yang berpendapat bahwa semburan Lumpur adalah “bencana alam”) dipertemukan – head to head – dengan tim oposisi yang berpendapat bahwa semburan lumpur adalah dampak dari operasi pengeboran di sumur Banjar Panji #1. Pertemuan tsb difasilitasi oleh Forum Komunikasi Masyarakat Jawa Timur, bertempat di Sheraton – Surabaya, pada hari Kamis, tanggal 28 March February 2008.

Tim Lapindo terdiri dari:

1. Mas Edi Sutriono – VP Drilling EMP
2. Dr. Ir. Agus Guntoro – Geologist (Univ. Trisakti)
3. Prof. Sukendar Asikin – Pakar geology tektonik dan dosen senior ITB
4. Dr. Ir. Dody Nawangsidi – Pakar dan dosen Teknik Perminyakan ITB
5. Dr. Adriano Manzini – Geologist dan pakar mud volcano dari Norwegia (?)

Tim oposisi terdiri dari:

1. Dr. Ir. Rudi Rubiandini – Pakar pengeboran dan dosen Teknik Perminyakan ITB
2. Ir. Kersam Sumanta – Pakar pengeboran yang berpengalaman dalam mematikan semburan liar (Pertamina)
3. Prof. Koesoemadinata – Pakar geology dan dosen senior ITB
4. Dr. Ir. Andang Bachtiar – Pakar geology dan mantan ketua IAGI
5. Harry Eddyarso – Tukang Ngebor

Secara substansi, isi presentasi dari kedua tim tidak banyak berbeda dari pertemuan2 sebelumnya, namun kali ini dengan tambahan data yang semakin melengkapi data2 sebelumnya. Justru yang terbaru (pertama kali saya liat) adalah presentasi tentang drilling dari Mas Edi Sutriono yang menyampaikan presentasi dengan berapi-api, mungkin udah lama menahan diri (bahasa Jermannya: “ngampet“) untuk muncul ke permukaan karena mungkin belum dapat “green light” dari manajemen Lapindo. Inti dari presentasi Mas Edi itu pada dasarnya adalah untuk menangkis pendapat tim oposisi yang mengatakan semburan itu akibat dari kelalaian pengeboran. Beliau sekaligus menegaskan bahwa secara konsep dan procedural tidak ada yang salah dalam operasi pengeboran sumur Banjar Panji #1. Jadi, semburan itu keluar dari “lubang lain” yang direkahkan oleh gempa Yogya (gak ada hubungannya dengan lubang sumur Banjar Panji #1) – jadi murni bencana alam.



Adapun argumentasi yang digunakan Mas Edi Sutriono di antaranya adalah:

* Di annulus yang keluar adalah air dengan berat 8.9ppg (ada di daily drilling report), sehingga dengan casing pressure 1054psi masih di bawah tekanan rekah formasi di 13-3/8″ casing shoe @ 3580ft, jadi tidak mungkin
merekah.
* Casing design dibuat dengan menggunakan Landmark software dengan kick tolerance = 0.5ppg –> jadi tetap aman dengan 6000ft open hole section
tanpa memasang casing 9-5/8″. Padahal program asli mengatakan bahwa casing 9-5/8″ harus di pasang di kedalaman 8500ft.



Dalam drilling practice, idealnya Kick Tolerance yang dipakai adalah at least 1 ppg. Bila kick tolerance antara 0.5ppg dan 1 ppg, kita harus sangat hati2 (ini menurut drilling manual Mobil Oil yang menjadi referensi teman2 Lapindo). Padahal menurut hitungan kami, kick tolerance yang dipakai Lapindo adalah 0.49ppg. Amankah? Ya aman2 aja bila operasi drilling berjalan dengan normal tanpa gangguan, tapi bila ada kick, semuanya bisa menjadi berantakan.

Secara umum, pertemuan di Sheraton Surabaya antara kedua tim itu cukup bagus, setidaknya sebagai langkah awal untuk pertemuan2 berikutnya. Kekurangannya tentu ada, di antaranya jangka waktu presentasi yang sangat terbatas serta audience yang mixed. Banyak juga warga korban lumpur Lapindo yang hadir dan mereka terpaksa nonton perdebatan antara kedua tim tanpa memahami masalah2 teknis. Sehingga saya mengusulkan untuk diadakan pertemuan lanjutan antara kedua tim dengan host Departemen ESDM dalam sebuah meeting tertutup yang focused (dikurung 3 hari 3 malam sampai ada konsensus bersama terutama untuk tindak lanjut solusi semburan lumpur tsb, di antaranya program relief well yang sempat terhenti waktu itu karena masalah2 non-teknis). Kalau program relief well ini disetujui untuk dilakukan kembali, tim Lapindo harus rela untuk tidak terlibat langsung. Kenapa? Ya bagaimana relief well bisa sukses

Sisi Lain Di Balik Adu Argumentasi:

Secara ilmiah, debat kayak ginian sih wajar2 aja, tapi karena ada implikasi hukum, cost, reputasi perusahaan, bahkan politis, insiden Lumpur Lapindo ini menjadi sangat sensitif laksana bola panas yang tak seorangpun mau menerimanya, sehingga paling aman ya diserahkan aja ke alam sebagai kambing hitamnya menjadi . Di sisi saya pribadi, mungkin ini case yang paling sulit buat saya karena teman2 Lapindo itu teman2 baik saya. CEOnya adalah “paman” saya sendiri walaupun cuman dalam lakon ketoprak “Peristiwa Bubat” dan sama2 pendiri APPI :-) .

Lalu kenapa saya memutuskan untuk ikut terlibat? Karena setidaknya ada 4 hal:

* Sebagai professional, kita semua bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui terhadap apapun yang kita lakukan di dunia ini
* Sebagai sesama manusia, saya gak tega melihat penderitaan masyarakat Sidoardjo korban2 lumpur tsb, apalagi sudah hampir 2 tahun masih gak jelas nasib, hak2 dan masa depan mereka.
* Secara moral, saya harus mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi berdasarkan data, fakta dan kompetensi saya sebagai tukang ngebor sumur dalam koridor dunia keilmuan dan kaidah2 ilmiah. Tidak ada masalah menang-kalah disini, but we have to do something for solving the long outstanding problem, terutama menolong saudara2 kita para korban itu.
Apalagi sampai saat ini institusi dan asosiasi para ahli yang berwenang masih diam saja, gak ngerti aku, kenapa??. Di sisi lain, ada proses penyelidikan yang tidak transparan, tidak berimbang dan menjurus pada konklusi “bencana alam” yang controversial itu, bahkan akhir2 ini oleh tim bentukan DPR (??)
* Sebagai drilling professional, saya ingin berkontribusi dalam mencari solusi agar bencana lumpur ini serta penderitaan saudara2 kita di
Sidoardjo itu segera berakhir.

rovicky.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar